Balam – Investigasi jaringan global jurnalis membuktikan ekspor pasir laut rusak lingkungan dan langgar HAM (Hak Asasi Manusia).
Jurnalis yang mendedikasikan kerjanya untuk menyelidiki kejahatan lingkungan, ERC (Environmental Reporting Collective), meluncurkan kolaborasi terbarunya berjudul “Beneath the Sands”.
“Beneath the Sands sebuah laporan investigasi tentang dampak penambangan pasir pada lingkungan dan komunitas, terutama perempuan dan anak di seluruh dunia,” ujar Redaktur Pelaksana ERC, Febriana Firdaus, dalam keterangannya pada Jumat (2/6/2023).
Baca Juga: Ekspor Pasir Laut Tidak Sejalan dengan RZWP3K Lampung
Isu penambangan pasir ini kembali mengemuka setelah Presiden RI Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut pada akhir Mei lalu.
Regulasi itu membuka keran ekspor pasir laut dari Indonesia yang sebelumnya dilarang sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Laporan ERC yang digarap selama setahun terakhir mengungkap dampak negatif penambangan pasir di 12 negara.
Di antaranya Indonesia, Singapura, Kamboja, Vietnam, Thailand, Filipina, China, Taiwan, India, Nepal, Sri Lanka, hingga Kenya.
Di negara-negara itu, investasi jurnalis lingkungan menemukan bahwa ekspor pasir laut rusak lingkungan dan langgar HAM.
Berikut laporan investigasi jurnalis lingkungan terhadap aktivitas penambangan pasir laut untuk ekspor yang merusak lingkungan dan melanggar HAM.
Pertama, tim ERC menemukan bahwa penambangan pasir yang masif, selain telah menyebabkan pulau-pulau kecil di Indonesia hilang, juga merusak daerah penangkapan ikan di Taiwan, Filipina, dan Cina.
Kedua, penambangan pasir di seluruh dunia melibatkan jaringan mafia yang mengelola bisnis bernilai miliaran dolar.
Mafia tambang pasir ini disebut-sebut terlibat dalam aktivitas yang mengancam keselamatan jurnalis, penggiat lingkungan, dan masyarakat sipil.
Febriana mengatakan beberapa dari mereka dipenjara, bahkan kehilangan nyawa.
“Kami menemukan banyak kasus kriminal yang terkait aktor penambang pasir ini di Nepal, Filipina, Sri Lanka, Vietnam, sampai India,” ujar dia.
Ketiga, tim ERC menginvestigasi bagaimana penambangan pasir berdampak pada kelompok rentan, seperti perempuan.
Penambangan pasir bukan hanya merusak rumah, tapi juga lahan pertanian, dan mengancam ketahanan pangan.
“Di Indonesia, kami mewawancarai sekelompok ibu yang melawan perusahaan penambangan pasir di Pasar Seluma, Provinsi Bengkulu, dengan protes damai dan simbolik,” ujar Febriana.
Baca Juga: Konsorsium Advokat Hijau Provinsi Lampung
Penambangan pasir laut oleh PT Flaminglevto Baktiabadi di Bengkulu dituding mengancam ekosistem remis, kerang laut, yang merupakan sumber pendapatan dan protein bagi masyarakat adat Serawai.
“Dari semua hasil investigasi kami itu, ada indikasi kuat bahwa penambangan pasir berdampak buruk pada lingkungan dan komunitas,” kata dia.
“Apalagi tidak ada aturan atau badan global yang memonitor eksploitasi pasir, yang merupakan sumber daya kedua terbanyak yang digunakan setelah air,” lanjut Febriana.
Tim ERC berharap temuan itu bisa menjadi rujukan bagi pembuat kebijakan di tingkat regional, nasional, dan global untuk membuat peraturan yang melindungi lingkungan dan kelompok rentan dari penambangan pasir yang merusak.
Investigasi aktivitas penambangan pasir laut terwujud berkat kolaborasi global mitra dan dukungan donor.
Termasuk Center for Investigative Reporting Sri Lanka (Sri Lanka), Kontinentalist (Singapura), Mekong Eye (Kamboja, Vietnam, Thailand), The Initium (China), Science Africa (Kenya).
Kemudian, Tempo (Indonesia), The Reporter (Taiwan), NBC News (USA), The Philippine Center for Investigative Journalists (Filipina), dan Ukaalo (Nepal).